Tokoh terkemuka asal Belanda, Prof. Schermerhorn, mengakui kecemerlangan intelektual Agus Salim.
Hal ini diungkapkan Seperti yang dikutip sejarawan Asvi Warman Adam (2004), Schermerhorn pernah berujar seperti ungkapan di bawah ini :
“Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat.” (Schermerhorn)
Snouck Hurgronje, yang berperan vital sebagai peletak dasar politik Islam pemerintah kolonial Hindia Belanda, sudah sejak lama mengamati Agus Salim.
Dia menilai Agus Salim sebagai intelektual muda yang cerdas, mempunyai pikiran yang tajam, dan keberanian yang luar biasa untuk ukuran orang Melayu khususnya Minangkabau.
Hal senada juga diungkapkan oleh Guru Bangsa, Ahmad Syafii Maarif mengatakan, sebagaimana halnya Hatta kemudian, Salim adalah pembela yang gigih terhadap sistem sosialisme plus Tuhan. Tetapi Salim menyadari betapa terbelakangnya pemikiran para ulama dalam menghadapi masalah-masalah besar sebagai realitas zaman yang berubah dengan cepat.
Menurut sejarawan terkemuka, Taufik Abdullah, “Ketika berpolitik adalah soal “panggilan”, entah dorongan idealisme nasionalitis, entah hanya pantulan dari hasrat batin lillahi ta’ala, adalah saat-saat ketika Salim bukan saja ikut terlibat, tetapi dengan sadar mengikatkan dirinya ke dalam partai polotik, sebuah organisasi sukarela yang membuat batas hipotesis dengan mereka yang berada di luarnya.”
“Haji Agus Salim menempatkan perjuangan kemerdekaaan dan pembetukan negara dalam kerangka pengabdian dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa… Maka sebagai insan beragama sudah seyogyanya negara sebagai ciptaan manusia disubkordinasikan permasalahannya pada agama dan lebih khusus pada kepercayaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” ungkap Prof Emil Salim.
Ridwan Saidi, menyimpulkan, “Ia (Agus Salim) adalah tokoh nasional yang memiliki secara sempurna kemampuan berpikir, memimpin, menulis, sekaligus berbicara.”
Jakob Oetama, Pendiri Kompas dan Presiden Direktur Kelompok Kompas-Gramedia menyebut Agus Salim dan para Bapak Bangsa lainnya unggul dalam pemikiran dan kecendekiawanan. Tokoh-tokoh itu dalam pemikiran dan pemahaman masalah-masalah besar kemasyarakatan tidak kalah dari para suku bangsa dan negara masa itu.
Moeslim Abdurrahman, Cendekiawan Muslim, menilai Agus Salim adaah sumur intelektualitas dan kearifan yang pernah kita miliki, tetapi sayangnya sering kita lupakan. Tugas para ilmuwan muda bangsa ini untuk menimbanya kembali, sebab intelektualitas Agus Salim telah dibuktikan lahir bukan dari spekulasi akademis, tetapi dari bagian lahirnya bangsa ini.
Haji Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat, dengan nama Musyudul Haq yang berarti ‘pembela kebenaran’. Haji Agus Salim belajar di sekolah dasar Belanda ELS (Europeese Lager School). Lulus pada 1897, dia bertolak ke Batavia untuk masuk ke Hogere Burger School (HBS), sekolah lanjutan yang sebenarnya hanya untuk orang-orang Eropa. Pada masa itu, sangat jarang melihat anak pribumi masuk ke sekolah Eropa. Ia lulus dari HBS dengan nilai paling tinggi di tingkat nasional, mengalahkan orang-orang Belanda saat berusia 19 tahun.
Ia ingin melanjutkan sekolah dokter di Belanda, tapi permohonan beasiswanya tidak diluluskan pemerintah Belanda, sementara keluarganya tak punya uang. Baru setelah R.A. Kartini mendengar berita mengenai Haji Agus Salim, Kartini memberi rekomendasi, pemerintah Belanda pun memberi beasiswa. Terlanjur meras tersinggung, Haji Agus Salim pun menolaknya.
Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam dan mempelajari diplomasi. Beliau juga belajar beragam bahasa, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang.
Pulang ke Indonesia, pada tahun 1915, Haji Agus Salim masuk ke dalam Serikat Islam (SI) pada masa kepemimpinan H.O.S. Cokroaminoto . Dalam waktu singkat, mereka menjadi kawan baik dan bekerja sama demi masa depan Indonesia.
Haji Agus Salim lantas dipercaya menggantikan Cokroaminoto di Volksraad pada 1922-1925. Di sini, beliau tak jarang bicara terbuka, keras, dan menantang. Seiring bergesernya gaya perjuangan SI ke arah non kooperatif, Agus Salim mundur dari Volksraad . Ia kemudian aktif di JIB (Jong Islamieten Bond) dan bekerja sebagai jurnalis.
Agus Salim kemudian menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Bersama Djajadiningrat dan Soepomo, ia juga menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945. Haji Agus Salim merupakan tokoh pemberani yang pandai berargumentasi dengan cerdas sehingga Sukarno pun memberinya julukan The Grand Old Man. Setelah kemerdekaan, Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri pada beberapa kabinet.
Haji Agus Salim wafat dalam kesederhanaan pada 4 November 1954. Haji Agus Salim adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mohmmad Hatta menyanjung seniornya ini:
“Sikapnya yang tangkas itu memberikan garam dalam ucapannya. Biasanya terdapat dalam perdebatan atau tulisan yang menangkis serangan lawan atau dalam pertukaran pikiran yang berisikan lelucon. Di situlah terdapat apa yang dikatakan orang dalam bahasa Belanda: Salim op zijn best,” sanjung Hatta. (Berbagai sumber)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar