--> Skip to main content

follow us

Sejarah Kubuang Tigo Baleh dan Konflik Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau

Sejarah Kubuang Tigo Baleh dan Konflik Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau. Luhak Kubuang Tigo Baleh atau lebih dikenal dengan Kubuang Tigo Baleh merupakan luhak termuda, terletak di sebelah selatan Luhak Tanah Datar. Luhak ini dibentuk dimasa agak belakangan, bukan di masa Adityawarman.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Blogminangkabau.com Luhak ini atau Kubuang Tigo Baleh berdiri karena dilatarbelakangi oleh masalah politik Kerajaan Pagaruyuang sewaktu terjadinya tindakan oposisi dari tiga belas orang Datuak (Pemuka Adat Minangkabau) yang tergolong bangsawan Pagaruyung.

Saat itu, Para Datuak ini mempunyai perbedaan pandangan yang tajam mengenai suatu masalah yang tidak membawa suatu kesepakatan. Diduga waktu itu, Pagaruyung dipegang oleh seseorang yang masih kuat pengaruh Melayu atau Sanskertanya, terbukti dari kalimatnya yang melegenda yang melahirkan nama Luhak ini sendiri yaitu

“… Ku buang Tigo baleh ninik mamak ini .. ” 

Maksud dari kalimat di atas adalah

"saya usir tiga belas datuak yang berseberangan dengan pendapat saya ini, supaya jangan lagi tinggal di Luhak Tanah Datar". 

Maka oleh karena itu Datuak yang tiga belas orang itu melakukan perjalanan dan hijrah ke Selatan Tanah Datar yang dikemudian hari terkenal dengan nama Solok.

Mereka (Para Datuak yang Hijrah) membawa serta anak kemenakannya. Mereka menyebar hampir ke seluruh lembah dan Dataran Solok hingga ke Solok Selatan. Diketahui Sampai sekarang keturunan mereka berkembang hingga perbatasan Kerinci Sungai Penuh, Kabupaten Pesisir Selatan yang berbatasan dengan Kerinci dan Provinsi Bengkulu dan sebagian wilayah Kota Padang.

Nagari Anggota Konfederasi Luhak Kubuang Tigo Baleh. Di kemudian hari keturunan dari 13 leluhur itu berkembang sehingga membentuk 13 nagari yang terletak di Kota Solok dan Kabupaten Solok sekarang ini. Konfederasi Kubuang Tigo Baleh (Kubuang Tigo Baleh) terdiri dari 13 nagari sebagai berikut:


  1. Solok
  2. Selayo
  3. Guguak
  4. Koto Anau
  5. Cupak
  6. Gantuang Ciri
  7. Kinari
  8. Muaro Paneh
  9. Gaung
  10. Panyakalan
  11. Sirukam
  12. Supayang
  13. Sariak Alahan Tigo


Berdasarkan sejarah yang ada Solok, Guguak, Koto Anau, Gaung dan Panyakalan merupakan penganut Lareh Bodi Caniago. Untuk daerah Koto Anau ini duduk seorang raja yang bergelar Datuak Bagindo yang Dipituan menerapkan, Sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem dari Lareh Koto Piliang. Maka Salayo dan beberapa nagari menganut sistem pemerintahan dari Lareh Koto Piliang. Termasuk Gantung Ciri. Mereka adalah : Salayo, Cupak, Gantuang Ciri, Sirukam, Supayang, Kinari, Muaro Paneh dan Sariek Alahan Tigo).

Sedangkan dalam versi lain, Kubuang Tigo Baleh ini diceritakan bahwa Daerah Solok dalam Tambo Minangkabau dikenal dengan nama Kubuang Tigo Baleh yang merupakan bagian dari Luhak Tanah Datar. Daerah ini tidak berstatus “Rantau” (daerah yang membayar upeti), bahkan ada yang menyebut daerah ini adalah Luhak yang termuda seperti yang dijelaskan pada uraian di atas.

Untuk Kubuang Tigo Baleh ini Daerah Rantaunya adalah Padang Luar Kota dan sebagian daerah Pesisir Selatan (Bayang dan Tarusan). Oleh karena itu Orang Padang Asli kebanyakan menyebut orang Solok sekitarnya dengan orang darek (Darek) 

Seperti yang ada didalam pepatah-petitih adat Minangkabau menyebutkan bahwa, Aso Solok duo Salayo, ba-Padang ba-Aia Haji, Pauah Limo Pauah Sambilan, Lubuak Bagaluang Nan Duo Puluah.

Sedangkan berdasarkan saduran Dari naskah Tjuraian Asal Mula Negeri Solok dan Salajo, diperoleh keterangan bahwa nama Kubuang Tigo Baleh berasal dari datangnya 73 orang dari daerah Kubuang Agam ke daerah yang sekarang disebut Kabupaten dan Kota Solok.

Kemudian Tiga belas orang tersebut di antaranya tinggal di Solok dan Selayo serta mendirikan Nagari – nagari  di sekitarnya, sedangkan 60 orang lainnya meneruskan perjalanan ke daerah Lembah Gumanti, Surian, dan Muara Labuh dan juga membangun nagari di sana serta kerajaan-kerajaan kecil.

Menurut tambo tersebut Ketiga belas orang ini menjadi asal nama Kubuang Tigo Baleh. Mereka pula yang mendirikan Nagari-nagari di sekeliling Nagari Solok dan Selayo. Kedua nagari ini disebut “Payung Sekaki” bagi nagari-nagari di sekitarnya.

Tiga Belas Nagari yang menjadi inti daerah Kubuang Tigo Baleh. Nagari-nagari itu adalah Solok, Selayo, Gantungciri, Panyakalan, Cupak, Muaropaneh, Talang, Saok Laweh, Guguak, Koto Anau, Bukiksileh, Dilam, dan Taruangtaruang. Ini versi yang tertuang dalam tambo Tjuraian Asal Mula Solok dan Salayo.

Ada Beberapa nagari lainnya yang merupakan pemekaran dari ketiga belas nagari yang disebutkan di atas adalah Tanjuang Bingkuang, Kotobaru, Kotohilalang, Gauang, Bukik Tandang, Kinari, Parambahan, Sungai Janiah, Limau Lunggo, Batu Bajanjang, Koto Laweh (Kec. Lembangjaya), Batu Banyak, Kampuang Batu Dalam, Pianggu, Indudur, Sungai Durian, Sungai Jambua, Guguak Sarai, Siaro-aro, Koto Laweh (Kec. IX Koto Sungai Lasi), dan Bukit Bais.

Nagari Guguak yang sekarang merupakan bagian dari Kecamatan Gunung Talang memekarkan diri menjadi tiga nagari, yaitu Koto Gadang, Koto Gaek, dan Jawi-jawi.

Dan diketahui Beberapa nagari lainnya kemudian juga bergabung ke dalam Konfederasi Kubuang Tigo Baleh, yaitu, Batang Barus, Aia Batumbuak, Simpang Tanjuang Nan Ampek.

Nagari-nagari yang sekarang tergabung ke dalam Kecamatan Payung Sekaki, Danau Kembar, Lembah Gumanti, Pantai Cermin, Tigo Lurah, dan Hiliran Gumanti.

Dua kecamatan lainnya, Sungai Pagu dan Sangir yang sekarang menjadi Kabupaten Solok Selatan juga mempunyai kaitan sejarah erat dengan Kubuang Tigo Baleh karena sebagian penduduk berasal dari daerah ini.

Meskipun jumlah nagari yang tergabung di dalamnya sudah lebih dari tiga belas nagari, tetapi namanya tetap Kubuang Tigo Baleh.

Sementara itu nagari-nagari yang terletak di bagian utara Kabupaten Solok, yang tergabung dalam kecamatan X Koto Singkarak (beserta daerah pemekarannya Kecamatan Junjuang Siriah) dan Kecamatan X Koto Diateh tidak disebut dalam tambo ataupun data lainnya, sebagai bagian dari Kubuang Tigo Baleh.

Daerah Kubung Tigo Baleh memiliki balai adat yang dipergunakan bersama untuk berkonsultasi antara nagari – nagari di kawasan Kubuang Tigo Baleh. Balai adat ini terletak di Nagari Selayo dengan nama Balai Nan Panjang Kubuang Tigo Baleh.

Balai Adat Selayo merupakan pusat untuk mencari keadilan dalam hal sengketa adat. Dengan demikina menjadi milik Kubuang Tigo Baleh secara adat. Nagari Selayo sekaligus memiliki kehormatan sebagai tempat penyelesaian sengketa adat.  Apbila ada perkara adat yang tidak mampu diselesaikan oleh masing masing Nagari di Kubuang Tigo Baleh ini, maka akan diselesaikan di Kerapatan Adat Nagari Selayo.

Secara bahasa praktis Nagari Selayo diasumsikan sebagai ‘bapak’-nya Kubung Tigo Baleh. Konsekuensinya,  Badai adat Selayo dianggap sebagai lembaga yang bertuah ini wajib menyelesaikan masalah yang timbul dalam linkup Kubuang Tigo Baleh.

Hal di atas dibunyikan dalam petatah petitih adat sebagai berikut :

"Manyalasaikan nan kusuik, manjaniahkan nan karuah”, 

Hal ini terjadi jika pada tingkatan Nagari-nagari diwilayah ini sudah tidak mampu memutus suatu perkara atau belum bisa memutuskan dengan baik. Mungkin kurang lebih mirip Mahkamah Konstitusi. Hebat Bukan?

Kisah Heroik Tentang Makam Datuak Parpatih nan Sabatang di Salayo


Sisi Unik dan Heroik yang cukup melegenda di Nagari Selayo adalah tentang keberadaan makam dari pucuk pimpinan lareh Bodi Caniago yaitu Datuak Parpatiah nan Sabatang

Makam dari Datuak Parpatiah nan Sabatang ini dipercaya terletak di Munggu Tanah, Jorong Batu Palano, Nagari Selayo dan Kayu Gadang. Konon katanyan dulu berasal dari tongkat milik Datuak Parpatih nan Sabatang yang ditancapkan di Aie Manjulua, di Bawah Jao. Begitu juga dengan kuburan samaran Datuak Parpatih nan Sabatang berada di kawasan yang sama.

Seperti yang dikisahkan melalui suatu wawancara seorang penulis (2001) dengan Djanatin Dt. Putiah semasa hidupnya (kini sudah almarhum), juga ditulis (almarhum) Soewardi Idris dalam bukunya Selayo (1992) yang didasarkan dari naskah Djanatin Dt. Putiah, seorang tokoh adat Nagari Selayo dan juga menjadi Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok.

Naskah Djanatin Dt. Putiah, disarikan atas keterangan Alm. Muhammad Saat Dt. Rajo Timbua yang masa hidupnya adalah seorang tokokoh adat dan pejuang kemerdekaan dengan memperoleh penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan.

Berdasarkan keterangan dari yang bersangkutan di atas disimpulkan bahwa sekembalinya Datuak Parpatih nan Sabatang dari Jawa membawa dua orang teman, masing-masing ahli pertanian bernama ” Tumangung “  dan seorang lagi Pangeran Rajo Bantan.

Datuak Parpatih nan Sabatang menetap di kediaman Datuak Gadang (Penghulu Suku Kampai). Kemudian dia mengangkat dua orang pengawal, masing-masing Datuak Baniang Bapawik dan Datuak Baramban Duri Rukam, diketahui keduanya berasal dari Suku Chaniago.

Setelah Dari Tanah jawa, Datuak Parpatih membawa sebuah tongkat. Tongkat yang dibawa beliau dari tanah Jawa dikenal banyak orang sebagai tongkat kayu Jao. Sebelum menuju negeri Alahan Panjang, Datuak Parpatih nan Sabatng berhenti sesaat di Aie Manjulua yang persis diarea perbatasan antara Nagari Selayo dengan Nagari Solok.

Pada kesempatan itu Kepada para ninik mamak, Datuk Perpatih nan Sabatang berucap :

”Hai seluruh ninik mamak Nagari Solok dan Nagari Selayo. Dimana tanah dipijak, dirikanlah Nagari beserta adatnya. Tanah lupak jadikan sawah, tanah keras jadikan ladang, gurun tandas jadikan padang halauan (gembalaan).”

Setelah memberikan pituah yang sedemikian, maka Datuak Parpatih nan Sabatang menancapkan tongkatnya di perbatasan kedua nagari tersebut dan konon kabarnya hingga sekarang masyarakat Nagari Selayo pada umumnya menyakini bahwa pohon besar yang berdiameter lebih kurang 2 meter dan bertinggi sekitar 70 meter tersebut berasal dari tongkat Datuak Parpatih nan Sabatang. Sampai sekarang kawasan itu dikenal dengan nama Bawah Jao.

Dalam perjalanan kisahnya Datuak Parpatih nan Sabatang terbaring sakit dikediaman Datuak Gadang, maka begiliranlah para ninik mamak di Kubuang Tigo Baleh menjenguk dan menunggui. Pada akhirnya, mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, Tuhan maka berkehendak, akhirnya Datuak Parpatih nan Sabatang meningggal dunia.

Tersebarlah kabar ke seluruh wilayah Kubuang Tigo Baleh atas wafatnya Datuak Parpatih nan Sabatang hingga sampai ke daerah Silungkang. Masyarakat Silungkang pun merasa memiliki sosok Datuak Parpatih nan Sabatang, berhasrat untuk membawa jenazah Datuak Parpatiah nan Sabatang ke negerinya. Masyarakat Selayo jelas berkeberatan jika jenazah dibawa oleh masyarakat Silungkang.

Upaya yang dilakukan oleh Masyarakat Selayo ialah dengan mengarak jasad Datuak Parpatih nan Sabatang ke Munggu Tanah, arah barat pusat Nagari Selayo.

Kemudian masyarakat Nagari Solok,  mengusulkan untuk membuat kuburan samaran yang diisi dengan sebatang pohon pisang di atas sebuah munggu di tengah sawah yang letaknya tidak jauh dari tempat tumbuhnya kayu Jao.

Jelas sekali kuburan yang dibuat ini hanyalah sebagai upaya mengakali dan menghalangi keinginan orang Silungkang, yang berkeinginan untuk mengambil jenazah Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Negeri Selayo.

Sesampainya rombongan masyarakat  Silungkang di negeri Selayo, maka disambutlah kedatangan rombongan ini oleh orang Nagari Solok dan Nagari Selayo dengan hidangan makanan.  Setelah itu Masyarakat Silungkang ditawari untuk melihat kuburan Dt. Parpatih nan Sabatang.

Dan dari sinilah, dari ide dan rencana kedua Orang nagari ( SOLOK dan SELAYO),  ini lahirlah sebuah pituah adat Minangkabau yang berbunyi :

“Aka Solok, Budi Selayo.”

Maksudnya ialah ide dan rencana datangnya  dari orang Solok namun yang menyambut dengan keramah tamahan serta menyediakan dan melayani makan adalah orang Selayo. Orang Selayo dianggap memiliki budi yang baik.

Konon ceritanya, pihak Orang Silungkang ternyata tetap bersikeras untuk membawa jenazah Datuak Parpatih nan Sabatang ini  ke negerinya. Mereka berupaya menggali kuburan samaran Datuk Pertpatih  Nan Sebatang ini. Betapa terperanjatnya orang Silungkang melihat kenyataan, ketika kain kafan dibuka ternyata didalamnya hanya sebatang pohon pisang. Mereka berkeyakinan bahwa Datuak Parpatih nan sabatang yang dianggap pemimpin ini adalah seorang yang keramat. Sehingga akhirnya mereka tidak berniat untuk membawanya ke Negeri Silungkang.

Konon dari peristiwa ini lahir ungkapan

”angguak anggak geleang amuah, tunjuak luruih kaliankiang bakaik”

Maksudnya, orang Salayo menunjukkan arah kuburan samaran tetapi mereka membelakangi daerah munggu tanah tempat kuburan asli Datuak Parpatih nan Sabatang.

Dari cerita masyarakat sekitar yang kemudian menjadi melegenda, konon dulunya, makam Datuak Parpatih nan Sabtang menunjukkan gejala aneh yang dirasakan oleh masyarakat setempat.

Bila menjelang akan terjadinya musibah melanda Negeri sekitarnya, maka ada bunyi yang menggelegar atau manggaga, berasal dari makam tersebut.

Anehnya, bunyi gelegar itu terus berlanjut hingga terdengar di kuburan Parak Tingga, pekuburan Lubuk Kilangan dan pekuburan di Galanggang Tangah (semua dalam kenagaraian Selayo). Katanya, bunyi gelegar itu terdengar beberapa hari sebelum terjadinya bencana gempa maha dahsyat pada tahun 1926.

Banjir besar tahun 1927. Masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1943 serta menjelang masuknya Sekutu ke Indonesia. Yang terakhir masyarakat setempat mendengar – saat saat menjelang meletusnya peristiwa G – 30 S/ PKI pada tahun 1965.

Dulunya makam Datuak Parpatih nan Sabatang dianggap keramat dan sering dijadikan tempat berkaul bagi masyarakat sekitarnya seperti saat turun ke sawah, menjelang panen, minta hujan, dan lainnya. Namun tradisi itu mulai hilang sejak berkembangnya ajaran Islam.

Makam itu kemudian direhab dengan model atap bagonjong pada tahun 1993 berkat bantuan pemerintah dan swadaya masyarakat. Makam Datuk Perpantih Nan Sabatang ini hingga kini terlihat sangat terawat yang dijaga oleh seorang juru kunci. Selain makam Datuak Parpatih nan Sabatang disampingya juga ada pusara kedua pembantunya yaitu Tumangguang dan Pangeran dari Banten.

Pengakuan Sebagai Makam Datuak Parpatih nan Sabatang


Informasi terkini menyebutkan bahwa, dulu pernah ada seorang ahli bernama Prof. Peggy R. Sanday dari California (Amerika Serikat) didampingi oleh dua orang staf ahli adat dari Batusangkar mengunjungi situs Makam Datuak Parpatiah nan Sabatang.

Diakui oleh kedua ahli adat dari Batusangkat tersebut bahwa memang di Selayo inilah dikuburkannya Datuak Parpatih nan Sabatang, lantaran di Limo Kaum tidak ditemui adanya makam Datuak Parpatih nan Sabatang.

Pernyataan yang sedemikian itu didukung dari tulisan alm. Anas Navis dalam tulisannya berjudul “Makam Itu Makam Datuak Parpatih Nan Sabatang” yang dimuat diharian Singgalang (1/9/1991).

Kebenaran tulisan AA Navis itu berdasarkan kenyataan bahwa munculmy Makam Datuak Parpatih nan Sabatang dalam Tambo Minangkabau di Perpustakaan Nasional yang dipaparkan dalam beberapa bahasa.

Catatan : Tulisan ini lebih kepada informasi semata, sejatinya kebenaran sesungguhnya tentang makam Datuak Parpatih nan Sabatang itu berada pada yang “ahli” nya. Wallahu alam. 

Semua data diambil dari banyak sumber, beberapa sumber penulis sebutkan di bawah ini. Artikel ini dipadupadankan oleh Afriant Ishaq dari berbagai sumber. Termasuk kepada ota orangtua dan Mamak/Datuak di daerah Solok, Salayo, Talang dan Sekitarnya.

Sumber :
-Wawancara penulis dengan Alamrhum Djanatin Dt.Putiah (2001)
– Wawancara dengan Fajri Hamzah Malin Batuah
– Selayo (1992) karya (almarhum) Soewardi Idris
– Mengutip tulisan Witrianto
– Gugel dan Blog Penulis dan Para Ahli Adat

Untuk informasi lebih lanjut, Baik Saran, Masukan dan Referensi Tambahan silahkan hubungi Kontak yang di sediakan di Pojok Atas Blogminangkabau.com ini. Tulisan dan Gambar bisa saja punya hak cipta. Mohon cantumkan sumber dan pemilik serta link. Terimakasih telah berkunjung dan jangan lupa share.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar