Apa saja Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya? Berikut blogminangkabau.com akan jabarkan secara mendalam tentang Filosofi pakaian Bundo Kanduang di Minangkabau. Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya ini disarikan dari beberapa sumber, dan pengalaman pribadi dari bertanya-tanya kepada Bundo Kanduang. Yuk disimak sampai selesai Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya.
1. Tikuluak Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya.
Tikuluak ini adalah pakaian untuk penutup rambut. Tikuluak Bentuknya lebih mirip dengan tanduk kerbau atau bangun kapal. Tikuluak memiliki Dua gonjong di kiri kanan yang sering diidentikkan dengan tanduk kerbau ini sebenarnya lebih tepat jika diidentikkan dengan bangun kapal. Karena di dalam deskripsi pidato adat dan beberapa sumber dikatakan bahwa kedua gonjong tersebut merupakan lambang keharmonisan/keseimbangan antara adat dan syarak (ABS-SBK).Seperti yang tertuang di dalam bahasa dan pidato Adat Minangkabau di bawah ini
“Gonjong ateh balik batimpa, lambang naraco bayangan adaik, adaik nan basandi syarak, syarak nan basandi kitabullah”.
Sama dengan filosofi bentuk kapal yang berbentuk demikian untuk tujuan keseimbangan.
Tikuluak ini sendiri dibuat dengan kain menyerupai selendang panjang yang dililitkan sedemikian rupa sehingga membentuk struktur bangun tikuluak. Ujung selendang yang satu berakhir di sebelah depan yang satu di sebelah belakang. Nilai filosofi yang terkandung di dalam ini diungkapkan dengan pidato adat
“Walau kabek buliah dibukak, namun buhua ndak buliah tangga”
Artinya, bahwa adat Minangkabau terbuka untuk segala macam pemikiran-pemikiran demi kebaikan, tapi tidak untuk hal-hal fundamental, seperti keyakinan dan filosofi hidup. Hal ini menjadi pedoman dalam menyelesaikan segala persoalan yang ada di dalam struktur adat masyarakat Minangkabau.
Lilitan kain yang membentuk tikuluak ini tidak terlalu kuat dan tidak pula terlalu lemah. Akan tetapi melilit rapat tampa tekanan kuat dari kedua ujung kain. Hal ini dideskripsikan dalam pidato adat dengan bunyi sebagai berikut:
“Tagangnyo bajelo-jelo, kanduanyo badantiang-dantiang, hati lapang paham saleso, pasiah lidah pandai barundiang”.
Artinya dan Makna Filosofinya adalah, pendekatan cara berfikir dalam adat Minangkabau itu tidak kaku. Hati dan pendirian harus istiqomah, akan tetapi, dalam penyampaian, karena menyangkut manusia lain, manusia banyak, maka harus mempertimbangkan segala sesuatunya. Karena, keharmonisan dan ketentraman adalah hal yang utama. Pendekatan ini digunakan terutama untuk masalah-masalah yang memiliki potensi untuk melebar ke mana-mana. Artinya, perlu suasana yang tenang untuk mengeluarkan dan melaksanakan keputusan. Baca Juga Suntiang Gadang dan Suntiang Ketek (Kaciak), Mahkota Anggun Perempuan Minang Nan Sarat Makna.
Selanjutnya, besarnya lingkaran tikuluak dalam pakain adat Bundo Kanduang Minangkabau yang melekat ke kepala disesuaikan dengan besarnya lingkaran kepala. oleh karena itu, tidak ada ukuran detail untuk panjang serta lebar kain pembentuk tikuluak ini.Nah Filosofi Tikuluak untuk Hal ini menganalogikan dua hal;
1. Bahwa tidak ada batasan untuk kekuatan pikiran/ isi kepala.
2. Tanggungjawab keibuan/ kewanitaan yang tidak ada batasnya. Filosofi Pakai Bundo Kanduang untuk hal Ini digambarkan dengan pidato adat
Berikut Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya dalam uraian pidato adat.
“Salilik lingkaran kaniang, ikek santuang di kapalo, lebanyo pandindiang kampuang, panjang pandukuang anak-kamanakan. Nan sapayuang sapatagak, di bawah payuang di lingkuang cupak”.
Penjelasan Arti dan Makna Filosofi Pakaian Bundo Kanduang di atas adalah Nan sapayuang sapatagak mengacu kepada anak kamanakan yang ada di dalam kaum, di bawah payuang di lingkuang cupak mengacu kepada anak kemenakan non-kaum, tapi karena budaya malakok telah dianggap sebagai bagian dari kaum sendiri.
Terakhir, pemakaian tikuluak itu sendiri tidaklah kuat menekan kepala. Karena landasan yang melingkari kepala itu sendiri dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk lingkaran kepala. Pengkondisian rancangan seperti inilah yang membuatnya kokoh meskipun tidak dipasang dengan kuat, tanpa bantuan alat untuk menahan agar melekat kuat ke kepala. Hal ini digambarkan dalam pidato adat dikatakan dengan
“Guyahnyo bapantang tangga, kokohnyo murah diungkai”.
Nilai filosofi yang terkandung di dalamnya mirip dengan
“Tagangnyo bajelo-jelo, kanduanyo badantiang-dantiang”,
yaitu tidak kaku dalam hal berfikir dan bersikap. Pikiran harus terbuka, tidak terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat teoritis. Karena adat adalah masalah kemanusiaan yang terus berjalan.
2. Baju Kuruang
Baju Bundo Kanduang ini dikenal dengan nama Baju Kuruang. Sesuai dengan namanya, maka, bangun baju ini tidak mungkin ketat. Karena, berbeda dengan pembalut, konsep kurungan adalah menyembunyikan apa yang di dalamnya. Oleh karena itu, baju kuruang mestinya longgar tapi tidak kedodoran. Lehernya tidak memiliki krah/ lipatan, badannya dihiasi dengan berbagai motif-motif yang dibuat dengan benang perak, emas, dan hiasan lainnya. Lenganya, dililiti dengan beberapa hiasan dari benang makau, di mana lilitan tersebut merupakan perpaduan benang yang kecil dan yang besar. Bagian jahitan pangkal lengan juga ditutupi dengan hiasan dari benang makau.Hiasan pada badan dan penutup jahitan pangkal lengan mengandung makna wewenang penuh untuk menutupi dan menyelesaikan dengan arif hal-hal yang bisa membuat resah masyarakat, meskipun menurut adat kebenaran hal tersebut barangkali belum seutuhnya benar. Misalnya, berbohong untuk kebaikan, berpura-pura untuk kebaikan, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan menjelang masalah tersebut atau masalah yang ditutupi selesai dan telah menemukan titik terangnya. Hal ini terlihat dari pidato adat tentang Filosofi Pakaian Bundo Kanduang menyangkut motif dan rancangan Baju kuruang yang digambarkan sebagai berikut
“Batabua perak baukia, baturap jo banang ameh, basuji jo banang makau. Panutuik jahik pangka langan, tando mambuhua ndak mambuku, mauleh ndak mangasan”.
Selanjutnya, hiasan berbentuk lilitan garis perpaduan benang kecil dan besar pada lengan mengandung makna bahwa;
1. Bundo kanduang bekerja dengan aturan dan etika,
2. Bundo kanduang tidak membedakan perlakuan antara anak-kemenakannya,
3. Anak kemenakan tersebut selalu mengiringi untuk melindungi dan menjaga bundo kanduang tersebut.
Hal ini tersirat dalam pidato adat,
“Langan balilik suok kida, basisik makau kaamasan, gadang basalo jo nan ketek. Tandonyo bundo bapangiriang, tagak baapuang jo aturan, baukua jangko jo jangkau, unjuak baagak bainggok-an”.
3. Kodek
Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya. Kodek ini adalah perlengkapan yang dililitkan di pinggang sebagai bawahan yang bentuknya berupa kain panjang. Dalamnya sampai ke tumit, dibalutkan ke pinggang dengan arah balutan menuju kiri sehingga unjungnya mengarah ke kiri. Ujung balutan bagian atas dan bawah membentuk garis serong. Cara pemasangan yang khas ini berkaitan dengan pidato adat“Bajalan si ganjua lalai, pado pai suruik nan labiah, samuik tapijak indak mati, alu tataruang patah tigo, tibo di lasuang ramuak rampak”.
Artinya, bundo kanduang itu berjalan berdasarkan aturan dan dengan etika. Etika yang menunjukkan kelemah-lembutan dan keagungan sifat kodrati seorang wanita yang bahkan secara kasat mata terlihat seperti tidak akan mampu menyakiti siapapun (dalam hal ini dianalogikan dengan semut). Aturan yang bisa bisa menghancurkan yang “keras” sekalipun. Singkat kata, wanita Minangkabau itu lembut pembawaannya tapi keras dalam menjalankan hal-hal yang sifatnya prinsipil.
4. Salempang
Salempang merupakan kain hiasan yang dilingkarkan dari bahu sebelah kiri ke pinggang sebelah kanan. Simpul ikatannya tidak mati tapi berupa simpul yang bisa ditarik dengan mudah untuk melepaskannya. Salempang ini adalah simbol dari tugas pokok dari bundo kanduang, yaitu mengenai pengelolaan sako dan pusako. Pengelolaan sako bukan berarti menjaga gelar adat, tetapi menjaga dan mendidik atau memperhatikan pendidikan generasi penerus gelar tersebut. Baca juga Busana Adat Minangkabau, Aturan Wajib dan Bagiannya.Sedangkan pengelololaan pusako berarti mengelola dan memanfaatkan harta secara baik untuk kesejahteraan kaumnya. Dalam hal pengelolaan pusako ini bundo kanduang dikenal juga dengan sebutan umbuak puro, alias juru kunci harta kaum/nagari. Hal ini tercermin dari ungkapan pidato adat tentang Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya.
“Salempang suto bajumbaian,…….., kapalilik anak kamanakan, kapangabek sako jo pusako, nak kokoh lua jo dalam. Kabek salilik babuhua sentak, rapek nagari nak maungkai, tibo nan punyo tangga sajo”.
5. Tarompah/Tarompa
Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya. Prinsip dasar yang terkandung di dalam filosofi tarompa ini adalah ajaran untuk memiliki dasar dalam bertindak. Dasar itu adalah pengetahuan/ ilmu tentang hal yang akan dihadapi, stategi, persiapan diri lahir dan batin sebelum menyatakan sikap ataupun bertindak. Tujuannya, supaya tidak ragu-ragu dalam bertindak, siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi, melindungi diri dari efek-efek negatif yang barangkali muncul. Hal ini tercermin dari pidato adat tentang Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya untuk tarompa“Malangkah jan salelo kaki, maagak kuku jan tataruang, ingek sabalun kanai. Kulimek sabalun habih, maminteh sabalun hanyuik, malantai sabalun lapuak. Gantang tatagak jo lanjuangnyo, sumpik tatagak jo isinyo, adaik tatagak jo limbago. Adaik nan batalago buek, cupak nan tarang samato, taga dek sifaik nan badiri”.
6. Subang, lukuah (dukuah), galang, cincin.
Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya untuk Subang, lukuah, galang, cincin di atas merupakan perhiasan untuk perempuan dalam konteks berpakaian Minangkabau. Subang adalah perhiasan untuk telinga, lukuah untuk leher, galang untuk tangan, dan cincin untuk jari. Mengenai materi dan bentuk perhiasan tersebut tidaklah disebutkan. Hanya saja dibatasi dengan istilah“Alua jo patuik ka ukuran”.Artinya, pakailah perhiasan pada tempatnya, yaitu sesuai dengan hakikatnya yaitu untuk menghias, untuk memunculkan kesan yang lebih baik. Oleh karena itu, hal terpenting dalam memilih dan menggunakan perhiasan adalah dengan memperhatikan persepsi masyarakat sekitar tentang perhiasan yang ingin dipakai, serta keadaan/ kondisi diri sendiri. Hal ini tercermin dari ungkapan pidato adat tentang Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya untuk Subang, Dukuah, Galang dan cincin yang berbunyi sebagai berikut:
“Takanak lukuah di lihia, bagalang salingkaran langan, bacincin salingkaran jari, alua jo patuik sinan bahimpun. Latakkan suatu pado tampeknyo, dimakan alua jo patuik, di dalam cupak jo gantang. Mahawai jan sapanjang tangan, unjuak bahagak bahinggoan, malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio”.
Sumber: 1. Pidato adat tentang pakaian adat Bundo Kanduang, 2) diskusi dengan Mamak jo Bundo Kanduang di KAN Solok (praktisi adat Minangkabau) dan blog Hendrizalman
Demikianlah penjelasan arti tentang Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya terutama Tikuluak, Baju Kuruang, Kodek, Salempang dan Dukuah, Cincin, Subang serta Cincin pada Pakaian Bundo Kanduang. Semoga artikel tentang Filosofi Pakaian Bundo Kanduang yang berjudul Filosofi Pakaian Adat Bundo Kanduang, Arti dan Maknanya ini menambah referensi Dunsanak tentang Filosofi Pakaian Bundo Kanduang di Minangkabau. Assalamualaikum.